Cerpen "Rahasia Ramadhan"
karya Fitriyani
Hebatnya
matahari perlahan mampu menyelinap keluar dari kegelapan. Warna kehitaman yang
menyelimuti langit akhirnya kalah melawan matahari. Kamar yang berkawasan kecil
pada peta rumahku telah disambut senyuman pagi yang tersirat dalam senyuman
Ibu. Aku tahu, dia menjelma matahari yang mampu menerangi hatiku dengan kasih
sayang. Kupicingkan mata, silau. Sungguh silau senyumannya.
“Anna…
bangun! Bangun, Na! ” seru Ibu sambil merobohkan tubuhku yang lengket dengan
kasur.
Tak
sabar karena aku belum bangun juga, Ibu mengambil air divkamar mandi dan
menampung air
tersebut di ember kecil berwarna merah kecoklatan. Ember tersebut merupakan ember tua yang telah kukenal sejak aku berumur 5 tahun.
tersebut di ember kecil berwarna merah kecoklatan. Ember tersebut merupakan ember tua yang telah kukenal sejak aku berumur 5 tahun.
Byurr! Byurrr!
“Hanya
mimpi?” lirihku bercampur percikkan air yang mencoba menyadarkanku.
Ku
usapkan wajah dan kembali kututup jendela yang terbuka karena angin kencang. Kesendirianku
bersama impianku. Tak ada yang mampu menggantikan bahagianku bersama keluarga.
Liburan telah tiba, dan aku harus kembali menyinggahi kampung halamanku, dan
istana tercinta.
Matahari
bersembunyi dibalik awan hitam yang tebal. Entah bagaimana, matahari pun kembali
hadir menerangi dunia, namun awan tipis masih mengeluarkan rintikan air hujan
dan membasahi tanah, pohon serta atap perumahan. Semua itu tak sebanding dengan
hasratku untuk kembali kekampung. Barang-barang yang akan kubawa telah bersatu
menjadi kesatuan didalam koper besar dan dikawali dengan tas ransel yang penuh
dengan bermacam-macam barang. Karena kondisi cuaca sedang hujan, aku menyamar
menjadi astronot berseragam merah muda dengan kepala besar yang keras. Seluruh
tubuhku tertutup rapat agar tidak terkena hujan, alhasil orang-orang akan susah
untuk mengenaliku.
“Na…
Hati-hati ya, kirim salam buat orangtuamu!” sapa seorang gadis dibalik jendela
rumah depan.
Tak
kusangka, dia mengenaliku, Lailani namanya. Dia adalah tetangga ku yang paling
ramah semenjak aku mulai tinggal di kamar kos Perumahan Cempaka. Selama bulan
puasa ini, keluarganya selalu menyisipkan makanan berbuka puasa yang pada saat
itu aku mengalami kekurangan ekonomi.
Kehidupan
ini mampu menyebarkan kebaikan serta kecintaan yang begitu melimpah ruah dalam
setiap insan. Dengan sinar kebaikan serta cinta, maka mampu memperkuat tali
silaturahmi yang terjadi disetiap umat manusia.
“Oh,
Laila ya? Iya aku hati-hati kok, pasti aku sampaikan. Anna keburu nih, sejam
lagi kapal berangkat. Kirim salam juga ya buat orangtuamu, La!”
Singkat
waktu, aku langsung bergegas nancap gas melampaui kiloan meter dengan lekukan
jalan yang tak berstruktur dan menerobos rintikan yang membasahi seragamku. Aku
tak peduli dengan desauan angin yang mencoba menggigilkan tubuhku. Dalam pikiranku
telah dipenuhi dengan kerinduan terhadap keluarga kecil dipulau seberang. Aku
sungguh merindukan mereka.
***
Waktu
dan jarak berangsur sedikit demi sedikit. Dan sebentar lagi, aku akan
menyinggahi kampung halaman tercinta. Setelah menunggu sejam didalam kapal, aku
keluar dan berdiri tegak di tepi pagar besi berlapis cat putih. Kuperhatikan
dengan cermat pinggul kapal yang akan merapat ke bibir dermaga. Kilauan dari
pecahan air laut memancar ke atas, gelombangpun ikut memadukan air dengan
berlari kecil menelusuri disetiap gelombang besar.
Dubgg…
Dentuman
keras didepan kapal telah bersatu dengan dermaga. Akhirnya juga, semua rasa
kegelisahan, dan kerinduan akan terbayar lunas dengan tunai pada hari ini.
Kendaraan yang berjajar rapat dan rapi siap bertempur melintasi keluar dermaga.
Aku ikut bertempur diantara yang lainnya. Menyerukan gas dengan bahagia. Tanpa
dihadang oleh rintikan hujan.
Aura
wajahku mulai menyampaikan isi hati, senyum lebar mendebarkan hati. Aku kembali
melewati jalan pintas agar cepat sampai kerumah. Tak sadar, aku terjebak
diantara lumpur yang telah menjajah wilayah jalan pintas itu. Rintangan dengan
penuh lumpur mencoba menghanyutkanku bersamaan dengan kendaraanku. Rasanya
ingin ku teteskan air mata ini. Semua rasa rinduku telah bercampur dengan
kekhawatiranku. Aku tak ingin jatuh. Aku kerahkan dengan sekuat tenaga untuk
mempertahankan posisi. Seperti semut yang terjebak di tetesan embun pagi yang
besar.
“Aduhh”
“Oh
tidak! sepatuku” lirihku dan masih mempertahankan posisi.
Kakiku
sempat mendarat di atas lumpur. Hampir saja aku terpeleset. Aku telah korbankan
sepatuku tersentuh lumpur. Dan aku akan tetap mencoba menerjang jalan itu. Tak
berhenti meskipun rintangan menghadang. Sedikit demi sedikit semua pasti akan
mudah untukku hadapi.
“Alhamdulillah, itu ujung jalannya!”
Hidung
dari ujung jalan telah tampak. Dengan hati-hati, akhirnya aku mencapainya dan
berhenti di tepi jalan raya. Kulihat ban roda kendaraan dan sepatu telah lengket
dengan adonan lumpur coklat. Tampak begitu lezat. He-he-he.
***
Ibu
dan kakak Ayuna telah mempersiapkan tempat tidurku yang sebelumnya telah
dipenuhi dengan debu. Ayah memperhatikan layar ponselnya. Melihat menit silih
berganti dan bertambah. Seharusnya aku sampai kerumah pada lima puluh menit
sebelumnya yaitu pada pukul 10.
“Bu,
mana Yayak?”
“Tak
jadi pulang ya?”
Ayah
memang paling cerewet diantara kami semua. Nama panggilanku dirumah yaitu
Yayak. Yang sebenarnya adalah Anna Sakhi Winaya. Yayak dipetik dari dua huruf
terakhir pada kata “Winaya”.
“Ibu
tak tahu” singkat Ibu menjawab. Dan Ibu bergegas pergi ke pasar membeli
bahan-bahan pokok makanan untuk berbuka puasa hari ini. Dan kakak Ayuna kembali
ke kamar asalnya.
Ayah
selalu menanti kedatanganku untuk berkumpul bersama-sama. Ayah duduk di ruang
tengah dan menyaksikan televisi untuk menghiburnya.
***
Karena
sepatu penuh dengan lumpur, maka aku gantikan dengan sandal yang kebetulan ada
di tas ranselku. Kubaluti sepatu itu dengan kantong plastik berwarna biru dan
kugantungkan di gantungan kendaraanku. Setelah itu, aku kembali tancap gas
menuju istana tercinta.
Tak
ada yang tahu. Kalau aku telah menginjaki daerah kampung halaman ini. Ayah,
Ibu, dan kakak Ayuna hanya tahu kalau aku akan datang hari ini saja. Kejutan
untuk mereka. Ya, harus meriah.
Beberapa
menit saja, akhirnya aku sampai didepan istana rumahku. semua tampak sepi.
Pintu tertutup rapat.
“Assalamu’alaikum”
“Tok
tok tok”
“Assalamu’alaikum”
Ku
gedor pintu rumah berkali-kali. Inilah kebiasaanku. Heboh dan harus bahagia.
“Wa’alaikum
salam” seru Ayah dari ruang tengah.
Kakak
Ayuna berlari kecil dan sembunyi dibalik tembok yang membatasi ruang tamu
dengan ruang tengah. Dan bersiap-siap untuk mengejutkanku. Ku buka pintu rumah.
Ku geretkan koper dan tas ranselku. Semua masih tampak seperti tiga bulan lalu.
Sofa untuk tempat duduk para tamu. Meja kerja beserta kursi plastik berwarna
merah yang tentunya anti pecah hanya milik Ayah. Aku berhenti di dekat tembok
pembatas ruang tamu dengan ruang tengah. Aku tahu pasti akan terjadi sesuatu.
“Dwaarrrr”
guman kakak Ayuna yang sengaja mengagetkanku. Namun percuma, karena aku sudah
tahu itu.
“Aduh
kaget wak, aduh aduh.” Aku berpura-pura kaget dengan badan hampir terjatuh-jatuh
seperti berputar badan berkali-kali.
“Hahaha,
sudah ketebak pun” lanjutku dan bangkit kembali.
“Ih
apalah. Padahal sudah direncanakan matang-matang!” candanya dengan kesal.
“Hahahaha”
balasku dengan bangga.
Aku
kembali menggeretkan tas ransel dan koper besar itu ke kamar.
“Dimana
Ibu? Pergi ke pasar ya?”
“Iya
ke pasar, sebentar lagi pasti pulang“ jawab kakak Ayuna dengan gaya yang
santai.
***
Seluruh
dapur seperti kapal pecah dengan berbagai bahan-bahan dasar untuk berbuka
puasa. Ada minyak, sayur, ikan, ayam dan lain-lain. Aku dan kakak Ayuna suka
ikut menghancurkan dapur.
“Bu,
tadi Yayak terjebak lumpur di jalan pintas. Tak tahu juga bisa bakalan seperti
itu bu. Biasanya kan tak pernah gitu bu. Yayak hampir saja jatuh dan mau menangis
he-he-he.” Sambil menggoreng ikan yang sudah dibersihkan dan dibumbui dengan
racikan khas Ibu.
“Iya
sudah, lain kali lewat jalan aspal saja kalau musim hujan. Daripada jatuh penuh
dengan lumpur.”
“Ha?
Coba saja jatuh. Kan bagus bisa luluran dengan lumpur ha-ha-ha!” sambung kakak
Ayuna dengan begitu riang memotong sayur yang masih segar itu.
“Ha-ha-ha
kakak saja sana kalau mau!”
“Ha-ha-ha”
kakak pun ikut tertawa.
Suasana
dapur penuh dengan canda dan tawa. Itulah dibentuknya sebuah keluarga. Keluarga
mampu menciptakan kebahagiaan yang tak terkalahkan. Inilah dibalik rahasia
Ramadhan, dengan cinta, ikhlas berbagi dan hati yang tulus semua akan merasakan
bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar