Jumat, 22 Juli 2016

Cerpen Rahasia Ramadhan

Cerpen "Rahasia Ramadhan"
karya Fitriyani
Hebatnya matahari perlahan mampu menyelinap keluar dari kegelapan. Warna kehitaman yang menyelimuti langit akhirnya kalah melawan matahari. Kamar yang berkawasan kecil pada peta rumahku telah disambut senyuman pagi yang tersirat dalam senyuman Ibu. Aku tahu, dia menjelma matahari yang mampu menerangi hatiku dengan kasih sayang. Kupicingkan mata, silau. Sungguh silau senyumannya.
“Anna… bangun! Bangun, Na! ” seru Ibu sambil merobohkan tubuhku yang lengket dengan kasur.
Tak sabar karena aku belum bangun juga, Ibu mengambil air divkamar mandi dan menampung air
tersebut di ember kecil berwarna merah kecoklatan. Ember tersebut merupakan ember tua yang telah kukenal sejak aku berumur 5 tahun.
Byurr! Byurrr!
           Mimpiku tersiram di atas kasur kapas persegi panjang. Aku tersentak bangun dan memperhatikan keadaan di sekitarku. Mataku terpanah melihat jendela kecil yang menganga lebar di sampingku. Kain yang menutupi jendela itu menggoyangkan tubuhnya disetiap alunan angin yang berhembus kencang.
“Hanya mimpi?” lirihku bercampur percikkan air yang mencoba menyadarkanku.
Ku usapkan wajah dan kembali kututup jendela yang terbuka karena angin kencang. Kesendirianku bersama impianku. Tak ada yang mampu menggantikan bahagianku bersama keluarga. Liburan telah tiba, dan aku harus kembali menyinggahi kampung halamanku, dan istana tercinta.
Matahari bersembunyi dibalik awan hitam yang tebal. Entah bagaimana, matahari pun kembali hadir menerangi dunia, namun awan tipis masih mengeluarkan rintikan air hujan dan membasahi tanah, pohon serta atap perumahan. Semua itu tak sebanding dengan hasratku untuk kembali kekampung. Barang-barang yang akan kubawa telah bersatu menjadi kesatuan didalam koper besar dan dikawali dengan tas ransel yang penuh dengan bermacam-macam barang. Karena kondisi cuaca sedang hujan, aku menyamar menjadi astronot berseragam merah muda dengan kepala besar yang keras. Seluruh tubuhku tertutup rapat agar tidak terkena hujan, alhasil orang-orang akan susah untuk mengenaliku.
“Na… Hati-hati ya, kirim salam buat orangtuamu!” sapa seorang gadis dibalik jendela rumah depan.
Tak kusangka, dia mengenaliku, Lailani namanya. Dia adalah tetangga ku yang paling ramah semenjak aku mulai tinggal di kamar kos Perumahan Cempaka. Selama bulan puasa ini, keluarganya selalu menyisipkan makanan berbuka puasa yang pada saat itu aku mengalami kekurangan ekonomi.
Kehidupan ini mampu menyebarkan kebaikan serta kecintaan yang begitu melimpah ruah dalam setiap insan. Dengan sinar kebaikan serta cinta, maka mampu memperkuat tali silaturahmi yang terjadi disetiap umat manusia.
“Oh, Laila ya? Iya aku hati-hati kok, pasti aku sampaikan. Anna keburu nih, sejam lagi kapal berangkat. Kirim salam juga ya buat orangtuamu, La!”
Singkat waktu, aku langsung bergegas nancap gas melampaui kiloan meter dengan lekukan jalan yang tak berstruktur dan menerobos rintikan yang membasahi seragamku. Aku tak peduli dengan desauan angin yang mencoba menggigilkan tubuhku. Dalam pikiranku telah dipenuhi dengan kerinduan terhadap keluarga kecil dipulau seberang. Aku sungguh merindukan mereka.
                                                                  ***
Waktu dan jarak berangsur sedikit demi sedikit. Dan sebentar lagi, aku akan menyinggahi kampung halaman tercinta. Setelah menunggu sejam didalam kapal, aku keluar dan berdiri tegak di tepi pagar besi berlapis cat putih. Kuperhatikan dengan cermat pinggul kapal yang akan merapat ke bibir dermaga. Kilauan dari pecahan air laut memancar ke atas, gelombangpun ikut memadukan air dengan berlari kecil menelusuri disetiap gelombang besar.
Dubgg…
Dentuman keras didepan kapal telah bersatu dengan dermaga. Akhirnya juga, semua rasa kegelisahan, dan kerinduan akan terbayar lunas dengan tunai pada hari ini. Kendaraan yang berjajar rapat dan rapi siap bertempur melintasi keluar dermaga. Aku ikut bertempur diantara yang lainnya. Menyerukan gas dengan bahagia. Tanpa dihadang oleh rintikan hujan.
Aura wajahku mulai menyampaikan isi hati, senyum lebar mendebarkan hati. Aku kembali melewati jalan pintas agar cepat sampai kerumah. Tak sadar, aku terjebak diantara lumpur yang telah menjajah wilayah jalan pintas itu. Rintangan dengan penuh lumpur mencoba menghanyutkanku bersamaan dengan kendaraanku. Rasanya ingin ku teteskan air mata ini. Semua rasa rinduku telah bercampur dengan kekhawatiranku. Aku tak ingin jatuh. Aku kerahkan dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan posisi. Seperti semut yang terjebak di tetesan embun pagi yang besar.
“Aduhh”
“Oh tidak! sepatuku” lirihku dan masih mempertahankan posisi.
Kakiku sempat mendarat di atas lumpur. Hampir saja aku terpeleset. Aku telah korbankan sepatuku tersentuh lumpur. Dan aku akan tetap mencoba menerjang jalan itu. Tak berhenti meskipun rintangan menghadang. Sedikit demi sedikit semua pasti akan mudah untukku hadapi.
 “Alhamdulillah, itu ujung jalannya!”
Hidung dari ujung jalan telah tampak. Dengan hati-hati, akhirnya aku mencapainya dan berhenti di tepi jalan raya. Kulihat ban roda kendaraan dan sepatu telah lengket dengan adonan lumpur coklat. Tampak begitu lezat. He-he-he.
                                                                 ***
Ibu dan kakak Ayuna telah mempersiapkan tempat tidurku yang sebelumnya telah dipenuhi dengan debu. Ayah memperhatikan layar ponselnya. Melihat menit silih berganti dan bertambah. Seharusnya aku sampai kerumah pada lima puluh menit sebelumnya yaitu pada pukul 10.
“Bu, mana Yayak?”
“Tak jadi pulang ya?”
Ayah memang paling cerewet diantara kami semua. Nama panggilanku dirumah yaitu Yayak. Yang sebenarnya adalah Anna Sakhi Winaya. Yayak dipetik dari dua huruf terakhir pada kata “Winaya”.
“Ibu tak tahu” singkat Ibu menjawab. Dan Ibu bergegas pergi ke pasar membeli bahan-bahan pokok makanan untuk berbuka puasa hari ini. Dan kakak Ayuna kembali ke kamar asalnya.
Ayah selalu menanti kedatanganku untuk berkumpul bersama-sama. Ayah duduk di ruang tengah dan menyaksikan televisi untuk menghiburnya.
                                                                       ***
Karena sepatu penuh dengan lumpur, maka aku gantikan dengan sandal yang kebetulan ada di tas ranselku. Kubaluti sepatu itu dengan kantong plastik berwarna biru dan kugantungkan di gantungan kendaraanku. Setelah itu, aku kembali tancap gas menuju istana tercinta.
Tak ada yang tahu. Kalau aku telah menginjaki daerah kampung halaman ini. Ayah, Ibu, dan kakak Ayuna hanya tahu kalau aku akan datang hari ini saja. Kejutan untuk mereka. Ya, harus meriah.
Beberapa menit saja, akhirnya aku sampai didepan istana rumahku. semua tampak sepi. Pintu tertutup rapat.
“Assalamu’alaikum”
“Tok tok tok”
“Assalamu’alaikum”
Ku gedor pintu rumah berkali-kali. Inilah kebiasaanku. Heboh dan harus bahagia.
“Wa’alaikum salam” seru Ayah dari ruang tengah.
Kakak Ayuna berlari kecil dan sembunyi dibalik tembok yang membatasi ruang tamu dengan ruang tengah. Dan bersiap-siap untuk mengejutkanku. Ku buka pintu rumah. Ku geretkan koper dan tas ranselku. Semua masih tampak seperti tiga bulan lalu. Sofa untuk tempat duduk para tamu. Meja kerja beserta kursi plastik berwarna merah yang tentunya anti pecah hanya milik Ayah. Aku berhenti di dekat tembok pembatas ruang tamu dengan ruang tengah. Aku tahu pasti akan terjadi sesuatu.
“Dwaarrrr” guman kakak Ayuna yang sengaja mengagetkanku. Namun percuma, karena aku sudah tahu itu.
“Aduh kaget wak, aduh aduh.” Aku berpura-pura kaget dengan badan hampir terjatuh-jatuh seperti berputar badan berkali-kali.
“Hahaha, sudah ketebak pun” lanjutku dan bangkit kembali.
“Ih apalah. Padahal sudah direncanakan matang-matang!” candanya dengan kesal.
“Hahahaha” balasku dengan bangga.
Aku kembali menggeretkan tas ransel dan koper besar itu ke kamar.
“Dimana Ibu? Pergi ke pasar ya?”
“Iya ke pasar, sebentar lagi pasti pulang“ jawab kakak Ayuna dengan gaya yang santai.
                                                                               ***
Seluruh dapur seperti kapal pecah dengan berbagai bahan-bahan dasar untuk berbuka puasa. Ada minyak, sayur, ikan, ayam dan lain-lain. Aku dan kakak Ayuna suka ikut menghancurkan dapur.
“Bu, tadi Yayak terjebak lumpur di jalan pintas. Tak tahu juga bisa bakalan seperti itu bu. Biasanya kan tak pernah gitu bu. Yayak hampir saja jatuh dan mau menangis he-he-he.” Sambil menggoreng ikan yang sudah dibersihkan dan dibumbui dengan racikan khas Ibu.
“Iya sudah, lain kali lewat jalan aspal saja kalau musim hujan. Daripada jatuh penuh dengan lumpur.”
“Ha? Coba saja jatuh. Kan bagus bisa luluran dengan lumpur ha-ha-ha!” sambung kakak Ayuna dengan begitu riang memotong sayur yang masih segar itu.
“Ha-ha-ha kakak saja sana kalau mau!”
“Ha-ha-ha” kakak pun ikut tertawa.

Suasana dapur penuh dengan canda dan tawa. Itulah dibentuknya sebuah keluarga. Keluarga mampu menciptakan kebahagiaan yang tak terkalahkan. Inilah dibalik rahasia Ramadhan, dengan cinta, ikhlas berbagi dan hati yang tulus semua akan merasakan bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar