Academia.eduAcademia.edu
MATA KULIAH PERJANJIAN INTERNASIONAL AMANDEMEN DAN MODIFIKASI MENURUT KONVENSI WINA 1969 M. Bigi R. P 1206243910 Jeremia Humolong P N 1306412294 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM SARJANA REGULER DEPOK 2016 Amandemen (Article 39) Amandemen merupakan suatu media atau cara yang resmi (formal legal device) untuk melakukan perubahan terhadap teks daripada sebuah perjanjian internasional, baik itu terhadap ketentuan pokok atau terhadap annex atau appendices1. Ketentuan mengenai amandemen haruslah dipertimbangkan secara matang dalam proses drafting sebuah perjanjian internasional, khususnya dalam perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Sebelum Perang Dunia Kedua, amandemen terhadap perjanjian internasional dilaksanakan dengan prinsip unanimity. Permasalahannya adalah sangat susah untuk mencapai kata mufakat sehingga muncul praktik‐praktik dimana amandemen hanya berlaku (entry into force) terhadap pihak‐pihak yang menyatakan persetujuannya. Ini berarti perjanjian internasional yang asli/awal tetap berlaku kepada pihak‐pihak yang tidak menyatakan persetujuannya terhadap amandemen dan antara pihak tersebut dengan pihak yang telah menyatakan persetujuannya terhadap amandemen. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya beberapa amandemen terhadap suatu perjanjian internasional2. Anthony Aust kemudian memberi contoh The Warsaw Convention 1929 (Convention for the Unification of Certain Rules relating to International Carriage by Air) yang diamandemen oleh Protokol pada tahun 1951 dan 1971, oleh empat tambahan Protokol pada tahun 1975, dan dilengkapi oleh Konvensi pada tahun 1961, yang mana beberapa masih belum berlaku (entry into force). Pihak yang terikat terhadap instrumen‐instrumen ini bervariasi, ada yang terikat hanya kepada satu instrumen dan ada yang terikat kepada beberapa instrumen. Ini mengakibatkan batasan tanggung jawab (liability) internasional sebuah maskapai terhadap penumpang bergantung kepada kewajiban dalam perjanjian internasional mana yang disetujui oleh negara terkait. Maksud atau kehendak daripada Warsaw Convention untuk menciptakan sebuah rejim yang seragam untuk penerbangan internasional pun tidak terpenuhi. International Law Commission menyadari akan hal ini saat sedang menyusun draf daripada VCLT 1969 pada tahun 1964. Proses amandemen dalam suatu perjanjian internasional tersebut akhirnya diatur di dalam Part IV Vienna Convention on the Law of 1 2 Jutta Brunnee, The Oxford Guide To Treaties, Oxford: Oxford University Press, 2012, hal. 347 Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, New York: Cambridge University Press, 2007, hal.262 Treaties. 1969 VCLT mengatur mengenai prinsip‐prinsip dasar tertentu daripada amandemen tersebut. Dimulai dari Article 39, yang menetapkan mengenai prinsip umum daripada amandemen perjanjian internasional, yaitu bahwa “Suatu perjanjian internasional dapat diamandemen oleh perjanjian di antara para pihak. Peraturan yang tertulis di Bagian II berlaku terhadap perjanjian tersebut kecuali perjanjian internasional tersebut mengatur berbeda” (A treaty may be amended by agreement between the parties. The rules laid down in Part II apply to such an agreement except in so far as the treaty may otherwise provide). Prinsip umum yang terdapat di dalam Article 39 dikaitkan dengan ketentuan di dalam Article lainnya, yang akan dijelaskan selanjutnya. Prinsip umum ini bergerak dari dua prinsip, yaitu pacta sunt servanda (Article 26) dan res inter alios acta merujuk kepada tidak ada Negara yang dapat dibatasi oleh perjanjian internasional yang melawan kehendaknya (Article 34)3. Pengaturan Article 39 juga harus dibaca dan dimengerti bersama dengan Article 40 dan Article 41. Berdasarkan Commentary di dalam Final Draft, ILC mengartikan kata amandemen yang mencakup amandemen terhadap ketentuan tertentu dan seluruh ketentuan perjanjian internasional. Tidak ada perjanjian internasional yang tidak dapat diamandemen. Ketika di dalam perjanjian internasional tidak ada ketentuan mengenai durasi keberlakuannya (misalnya waktu atau keadaan tertentu), perjanjian internasional tersebut dapat diamandemen setiap saat. Bahkan ketika terdapat kondisi‐kondisi tertentu misalnya batasan waktu terhadap amandemennya, dapat digantikan oleh perjanjian yang berdasarkan hasil mufakat antar pihak4. Amandemen terjadi berdasarkan perjanjian di antara para pihak (terkadang disebut dengan Protokol). Ini berarti tidak dikenal adanya hak unilateral dalam melakukan amandemen atau modifikasi terhadap perjanjian internasional. Konsepsi sebuah perjanjian internasional hanya dapat diamandemen oleh sebuah perjanjian baru dan terpisah berangkat dari pendekatan prinsip pacta sunt servanda5. Bentuk perjanjian ini merupakan 3 Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach, Vienna Convention on the Law of Treaties, A Commentary, Heidelberg: Springer, 2012, hal. 700. 4 Mark E. Villiger, Commentary on the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2009, hal. 512. 5 Loc. Cit. diskresi daripada Negara‐Negara Pihak tersebut. Mereka dapat memilih bentuk mana yang menurut mereka tepat. Bentuk yang paling umum adalah perjanjian secara tertulis, perjanjian secara lisan (oral agreement) atau berisi perjanjian lisan dari menteri, pertukaran nota diplomatik, resolusi dari Konferensi Para Pihak dan perjanjian secara diam‐diam atau tersirat (tacit agreement). Menurut Waldock dalam Rapat ILC, tacit agreement masih dimungkinkan meskipun susah untuk ditangani. Tacit agreement dapat dilihat dari munculnya sebuah praktik yang berulang (a subsequent practice) dan aturan hukum kebiasaan. Perbedaan antara praktik yang berulang dan hukum kebiasaan terletak di pihak yang terlibat dan fokus daripada kebiasaan mereka6. Praktik yang berulang merujuk kepada kebiasaan Negara Pihak berkaitan dengan ketentuan tertentu dari perjanjian internasional, sedangkan Perjanjian internasional juga dapat diubah (amended) secara efektif oleh perjanjian yang berulang antar pihak berkaitan dengan interpretasi dan aplikasi perjanjian internasional (Article 31 (3)(a)). Terkait dengan berbagai bentuk daripada tacit agreement dimungkinkan juga untuk mengubah (amend) suatu perjanjian internasional berdasarkan kemunculan dari peraturan baru di ius cogens. Ini sesuai dengan Article 64 yang mengatakan bahwa sebuah perjanjian internasional yang ketentuannya berlawanan dengan peremptory norm hukum internasional akan kehilangan kekuatan hukumnya (void). Dikaitkan dengan Article 44 para 3, menjadi jelas apabila di dalam kasus yang ada ketentuan yang terpisah (severability), maka hanya ketentuan tertentu lah yang hanya diganti7. Perjanjian itu tersebut, berdasarkan Article 39 tidak dimaksudkan untuk disetujui oleh semua Negara Pihak. Jika dalam kasus perjanjian internasional yang bilateral, maka memang harus dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam kasus perjanjian internasional yang bersifat multilateral, maka amandemen dapat berlaku hanya kepada Negara tertentu saja. Isu terakhir yang timbul adalah peraturan prosedur mana yang akan berlaku terhadap perjanjian amendemen sesuai Article 39. Terdapat dua kondisi yang lahir dari kalimat kedua (The rules laid down in Part II apply to such an agreement except in so far as the treaty may otherwise provide) yaitu perjanjian internasional itu diam dan tidak 6 7 Oliver, Op.Cit, hal. 704. Oliver, Op.Cit, hal. 705. mengatur secara spesifik mengenai prosedur amandemennya dan kedua, perjanjian internasional tersebut yang mengatur secara spesifik mengenai prosedur itu secara tertulis. Kondisi pertama berarti peraturan dalam Part II berlaku terhadap prosedur amandemennya. Sedangkan untuk prosedur dalam kondisi kedua, prosedur yang digunakan adalah sesuai dengan apa yang tertulis di dalam perjanjian internasional tersebut. Jimenez di dalam Rapat ILC mengatakan bahwa persyaratan dalam amandemen yang terdapat dalam ketentuan perjanjian internasional yang akan berlaku, persyaratan itu dapat lebih ketat atau longgar daripada persyaratan dalam proses adopsi teks perjanjian internasional asli/pertama (adoption of the text). Namun, menurut Villiger, Article 39 gagal dalam mempertimbangkan kondisi ketiga, dimana perjanjian perubahan (amending) tidak dalam bentuk tertulis berkaitan dengan perjanjian internasional tersebut tidak mengatur mengenai persyaratan amandemen secara spesifik. Peraturan dalam Part II tidak akan berlaku terhadap perjanjian internasional ini. Persyaratan amandemen yang diinginkan akan diserahkan kepada Negara Pihak yang akan merumuskannya secara oral atau tacit. Yang harus diperhatikan dalam prosedur ini adalah keseimbangan antara stabilitas dari suatu perjanjian internasional, dinamisme, dan adaptibilitasnya. Dalam beberapa konteks, misalnya pada perjanjian internasional yang menghasilkan organisasi internasional, stabilitas daripada struktur institusi dan prosedur akan menjadi hal terpenting dari maksud perjanjian internasional tersebut. Stabilitas ini juga menjadi tolok ukur dalam isu‐ isu seperti Hak Asasi Manusia. Untuk kasus lingkungan, misalnya perjanjian internasional akan diukur keberhasilannya lewat dinamismenya, yaitu kemampuan adapsi dan bereaksi dalam menangani tantangan‐tantangan baru dan yang sedang berkembang8. Perjanjian Multilateral (Article 40) Perjanjian internasional yang bilateral pada dasarnya lebih mudah untuk diubah daripada perjanjian internasional yang multilateral. Yang menjadi permasalahan mengenai perjanjian bilateral adalah bentuk perjanjian untuk melakukan amandemen. Salah satu contoh daripada ketentuan amandemen di perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia mengenai Pertahanan (Lombok Treaty), yang bunyinya sebagai berikut: 8 Julie, Op.Cit, hal. 351. “This Agreement may be amended in writing by mutual consent by both Parties. Any amendment to this Agreement shall come into force on the date of later notification by either Party of the completion of its ratification procedure for the amendment.9” Dengan demikian, ILC menganggap bahwa pengaturan spesifik terhadap prosedur perjanjian internasional yang bersifat bilateral tidak diperlukan, pengaturan dalam Part II sudah cukup10. Untuk perjanjian internasional yang multilateral, setidaknya menurut Anthony Aust terdapat tiga masalah yang timbul, yaitu pertama, proses persetujuan daripada perjanjian dan membuatnya berlaku (entry into force) dapat sesusah proses negosiasi dan entry into force perjanjian internasional yang orisinil; kedua, dengan maksud untuk jangka waktu yang lama, perjanjian multilateral lazimnya akan membutuhkan amandemen; dan ketiga, dengan tidak lengkapnya atau tidak adanya ketentuan mengenai amandemen dalam suatu perjanjian internasional, maka amandemen itu tidak mengikat semua Pihak11. Jika Article 39 merujuk kepada ketentuan secara umum daripada amandemen terhadap perjanjian internasional, khususnya perjanjian bilateral, maka dalam Article 40 dijelaskan secara spesifik mengenai prosedur amandemen terhadap perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Article 40 mengatur sebagai berikut: 1. Apabila perjanjian internasional mengatur sebaliknya, amandemen perjanjian internasional yang bersifat multilateral harus diatur oleh ketentuan yang ada di paragraph berikut. (Unless the treaty otherwise provides, the amendment of multilateral treaties shall be governed by the following paragraphs.); 2. Setiap permintaan atau permohonan untuk mengubah suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral di antara semua pihak harus dinotifikasi kepada semua negara yang mengadakan perjanjian, yang mana setiap mereka memiliki hak dalam (Any proposal to amend a multilateral treaty as between all the parties must be notified to all the contracting States, each one of which shall have the right to take part in): (a) keputusan mengenai tindakan yang akan dilakukan sehubungan dengan permohonan tersebut (the decision as to the action to be taken in regard to such proposal); 9 Article 9 Lombok Treaty Final Draft, Commentary to Art 36, 233 para 5. 11 Anthony, Op.Cit, hal. 263. 10 (b) negoisasi dan perumusan setiap perjanjian amandemen terhadap perjanjian internasional (the negotiation and conclusion of any agreement for the amendment of the treaty). 3. Setiap Negara yang tercatat akan menjadi pihak dalam perjanjian internasional harus juga tercatat akan menjadi pihak dalam perjanjian internasional yang telah diubah (Every State entitled to become a party to the treaty shall also be entitled to become a party to the treaty as amended). 4. Perjanjian yang mengubah tersebut tidak mengikat setiap Negara yang telah menjadi pihak dalam perjanjian internasional tetapi tidak menjadi pihak dalam perjanjian yang mengubah, Article 30 paragraph 4(b) berlaku terhadap hubungan antara Negara‐negara tersebut (The amending agreement does not bind any State already a party to the treaty which does not become a party to the amending agreement; Article 30, paragraph 4(b), applies in relation to such State). 5. Setiap Negara yang menjadi pihak dalam perjanjian internasional setelah perjanjian internasional berlaku yang telah gagal dalam menunjukkan intensi yang berbeda harus (Any State which becomes a party to the treaty after the entry into force of the amending agreement shall, failing an expression of a different intention by that State): (a) dianggap sebagai pihak dalam perjanjian internasional yang telah diubah (be considered as a party to the treaty as amended); dan (b) dianggap sebagai pihak dalam perjanjian internasional yang tidak diubah dalam hubungannya kepada pihak lain dalam perjanjian internasional yang tidak terkat kepada perjanjian pengubahan tersebut (be considered as a party to the unamended treaty in relation to any party to the treaty not bound by the amending agreement). Tujuan utama dari Article 40 adalah untuk menjaga struktur keanggotaan daripada perjanjian internasional yang orisinil dan yang telah diamandemen. Article 40 mengatur hubungan antara Negara Pihak dalam perjanjian internasional yang orisinil dan perjanjian internasional yang telah diamandemen. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan keseimbangan antara stabilitas dari hubungan kontraktual dan kebebasan Negara dalam membuat keputusan di masyarakat internasional12. Peraturan yang ada dalam Article ini tidak mengharuskan semua Negara Pihak untuk menyatakan persetujuannya dalam amandemen, sebaliknya peraturan ini memberikan jaminan terhadap hak‐hak tiap Negara Pihak untuk berpartisipasi dalam proses amandemen13. Ketentuan yang ada di dalam amendment clause daripada perjanjian internasional akan berlaku sesuai paragraph 2‐5 apabila tidak diatur lain dalam perjanjian internasional. Bagian ini tadi telah dijelaskan di bagian sebelumnya. Salah satu alasan diperlukannya Article 40 adalah karena sering di bagian klausa amandemen perjanjian internasional, hanya diatur mengenai aspek‐aspek tertentu dalam perjanjian internasional. Prosedur amandemen yang tercantum dalam perjanjian‐perjanjian internasional dielaborasi dalam beberapa tahun terakhir. Setiap prosedur dibuat menyesuaikan dengan kebutuhan‐kebutuhan tertentu dari organisasi atau perjanjian internasional, tetapi pada umumnya mencakup: 1. Jumlah pihak atau votes dari badan utama (plenary body) atau pertemuan yang dibutuhkan untuk mendorong amandemen sebelum itu berlaku terhadap semua pihak; 2. Mayoritas yang dibutuhkan dalam proses adopsi amandemen; 3. Apakah adopsi amandemen ini perlu diratifikasi atau disetujui saja ( 4. Jika begitu, jumlah pihak yang dibutuhkan untuk melakukan ratifikasi atau menyetujui agar amandemen tersebut berlaku (entry into force); 5. Dalam hal ratifikasi atau persetujuan tidak dibutuhkan, amandemen dapat diadopsi melalui perjanjian secara implisit atau tersirat (tacit agreement); dan 6. Apakah amandemen tersebut mengikat pihak yang belum meratifikasi atau menyetujui. Salah satu contoh perjanjian internasional yang memiliki prosedur amandemen di dalamnya adalah Piagam PBB (UN Charter). Berikut isi dari Pasal 108 Piagam PBB. 12 13 Oliver, Op.Cit, hal. 710. Final Draft, Commentary Art 35, 232 para.4 Amendments to the present Charter shall come into force for all Members of the United Nations when they have been adopted by a vote of two thirds of the members of the General Assembly and ratified in accordance with their respective constitutional processes by two thirds of the Members of the United Nations, including all the permanent members of the Security Council. Dari ketentuan ini, terdapat persyaratan spesifik mengenai persentase suara anggota yang dapat membuat amandemen itu berlaku dan mengikat semua Pihak, meskipun Pihak tersebut tidak menyatakan persetujuannya. Anthony Aust menyebut kondisi ini sebagai automatically and comprehensively binding. Sedangkan bagi perjanjian multilateral yang tidak memiliki ketentuan mengenai amandemen dan prosedurnya adalah Warsaw Convention 1929 dan Montreal Convention 2006. Prosedur yang diatur di dalam Article 40 ini dimulai dari permohonan amandemen atau pengajuan proposal amandemen yang diajukan kepada semua Pihak yang Mengadakan Perjanjian. Article 40 memperluas ruang lingkup prosedur ke dua arah, yaitu pertama, jika sebuah perjanjian internasional sudah berlaku, Negara yang telah menyatakan persetujuannya tetapi belum meratifikasi juga dilibatkan dalam proses amandemen ini, dan kedua, perjanjian internasional juga dapat diubah atau diamandemen apabila perjanjian internasional tersebut belum berlaku. Tidak dijelaskan secara spesifik anggota mana yang dapat mengajukan proposal, maka dalam hal ini bisa saja setiap pihak, baik itu negara maupun organ yang terbentuk melalui perjanjian internasional tersebut. Proposal itu diajukan ke semua pihak yang bertujuan untuk memastikan bahwa semua Pihak yang mungkin terkena efek daripada perubahan tersebut dapat berkonsultasi dan berpartisipasi di dalam proses peninjauan14. ILC menganggap bahwa kewajiban untuk memberitahu dan berkonsultasi dengan Negara lain berangkat langsung dari kewajiban untuk melaksanakan ketentuan‐ketentuan perjanjian internasional dengan itikad baik15. Biasanya notifikasi tersebut dibuat dalam bentuk tertulis dan akan diterima, diperiksa, dan disebarkan oleh depositary perjanjian multilateral tersebut atau Negara‐negara yang 14 15 Final Draft, Commentary to Art. 36, 233 para 8 Final Draft, Commentary to Art. 36, 233 para 9 bersangkutan16. Setelah ada keputusan mengenai amandemen ini, maka setiap Negara Pihak memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses negosiasi dan konklusi dari perjanjian tersebut. Pihak yang Mengadakan Perjanjian dapat untuk menolak proposal amandemen tersebut dan tidak berpartisipasi dalam proses tersebut. Tetapi, mereka tidak dapat menghalangi Negara Pihak lain untuk menginisiasi dan menaati prosedur yang akan berlanjut pada proses adopsi perjanjian pengubahan. Memungkinkan untuk mengatakan bahwa negara yang dapat dikatakan Pihak dalam amandemen adalah negara yang tercatat telah berpartisipasi dalam prosedur amandemen ini, Ini diperluas dengan pengaturan di paragraph 3 dengan memasukkan negara yang telah berpartisipasi dalam proses konklusi perjanjian internasional yang orisinil tetapi belum menyatakan persetujuannya untuk terikat. Ini dikarenakan negara tersebut juga memiliki kepentingan di dalam amandemen dan maka dari itu, harus diberikan hak untuk menjadi pihak dalam perjanjian internasional dan perjanjian internasional yang telah diamandemen dengan seketika17. Peraturan di dalam paragraph 3 dapat dikesampingkan atau ditolak oleh Negara‐Negara Pihak atau Pihak Yang Mengadakan Perjanjian dengan membuat formulasi perjanjian amandemen yang sedemikian rupa sehingga dapat mengecualikan non‐contracting Parties atau pembatasan jumlah Negara Pihak di dalam perjanjian internasional dengan cara klausa regional atau eksklusif klausa lain. Seperti yang telah dijelaskan di paragraf sebelumnya, Pihak perjanjian internasional tidak memiliki kewajiban untuk menjadi pihak dalam perjanjian pengubah (amending). Dengan ketentuan ini, maka muncul dua kategori pihak yaitu Negara yang merupakan pihak dalam perjanjian internasional yang orisinil dan kedua Negara yang telah menjadi pihak dalam perjanjian internasional yang telah diamandemen. Berdasarkan Article 30 sub para 4 kita dapat melihat bahwa ketika ada relasi antara kedua kategori ini, maka hak dan kewajiban yang berlaku adalah yang diatur di dalam perjanjian internasional yang belum diamandemen. Konsekuensi hukum perjanjian amandemen yang tidak disetujui oleh semua Negara Pihak dengan begitu sama dengan konsekuensi hukum dari modifikasi perjanjian internasional di antara Negara Pihak tertentu. 16 17 Villiger, Op.Cit, hal. 523. Final Draft, Commentary to Art. 36, 233‐234 para 10. Pengaturan terakhir adalah mengenai Negara yang menjadi Pihak dalam perjanjian internasional setelah amandemen perjanjian internasional tersebut berlaku. Negara Pihak yang baru memiliki kebebasan untuk menyatakan apakah mereka ingin terikat kepada perjanjian yang orisinil atau perjanjian yang telah diamandemen18. Waldock berpendapat bahwa dapat diasumsikan tidak lazim bagi Negara untuk ingin menjadi Pihak dalam perjanjian internasional yang orisinil meskipun praktik perjanjian internasional telah menunjukkan kebutuhan untuk melakukan amandemen terhadap perjanjian internasional sehingga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru. 18 Final Draft, Commentary to Art 36, 234 para 13. MODIFIKASI (Pasal 41) Article 41 Agreements to modify multilateral treaties between certain of the parties only 1. Two or more of the parties to a multilateral treaty may conclude an agreement to modify the treaty as between themselves alone if: (a) the possibility of such a modification is provided for by the treaty; or (b) the modification in question is not prohibited by the treaty and: (i) does not affect the enjoyment by the other parties of their rights under the treaty or the performance of their obligations; (ii) does not relate to a provision, derogation from which is incompatible with the effective execution of the object and purpose of the treaty as a whole. 2. Unless in a case falling under paragraph 1 (a) the treaty otherwise provides, the parties in question shall notify the other parties of their intention to conclude the agreement and of the modification to the treaty for which it provides. Bunyi dari Pasal 41 Konvensi Vienna 1969 dan Pasal 41 Konvensi Vienna 1986 adalah sama. Pendahuluan Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa‐bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.19 Perjanjian internasional terbagi menjadi perjanjian internasional bilateral dan perjanjian internasional multilateral. Ketika perjanjian multilateral dirumuskan, maka akan terdapat banyak pihak yang akan terikat dalam perjanjian ini. Banyaknya pihak dalam suatu perjanjian menyebabkan munculnya banyak kepentingan. Tambah lagi, perjanjian 19 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:Alumni, 20003, hal. 117 internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang penting.20 Maka, diperlukan mekanisme modifikasi agar suatu perjanjian internasional dapat diadaptasikan untuk memenuhi kepentingan pihak‐pihaknya. Modifikasi artinya adalah perubahan untuk ketentuan‐ketentuan tertentu dalam sebuah perjanjian internasional yang hanya berlaku bagi pihak‐pihak tertentu dari perjanjian internasional tersebut.21 Perjanjian internasional yang bersifat multilateral sangat sulit untuk diamandemen, apalagi bagi perjanjian internasional yang mengikat banyak negara sebagai pihaknya karena banyak kepentingan yang muncul bila terdapat banyak pihak yang terikat. Maka, bisa jadi pihak‐pihak tertentu, terkait dengan kepentingan mereka memodifikasi suatu perjanjian internasional demi kepentingan mereka dengan alasan‐ alasan tertentu.22 Syarat‐syarat bagaimana pihak‐pihak dalam perjanjian internasional multilateral juga diatur dalam Pasal 41. Sejarah Pada Konferensi Vienna, modifikasi bukanlah sesuatu yang tidak lazim dalam praktek, tetapi Pasal 41 Konvensi Vienna bukanlah suatu kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional yang ada karena kondisi kapan modifikasi diperbolehkan dalam suatu perjanjian internasional dianggap sebagai suatu terobosan pada saat itu.23 Diperkenalkan pertama kali pada ILC kemudian dimatangkan dengan diadopsi draft finalnya pada konvensi Vienna 1968/1969.24 Penjelasan Pasal • 20 Pihak‐pihak dalam modifikasi. J. G. Starke, An Introduction to International Law, London:Butterworth & Co. Publishers LTD, 1958, hal. 36. United Nations, Treaty Handbook, United Nations Publication, 2012, hal.68. 22 Oliver Doerr dan Kirsten Schmalenbach, Vienna Convention on the Law of Treaties: A Commentary, Heidelberg:Springer, 2012, hal.719. 23 ibid., hlm. 722. 24 Mark E. Villiger, “Commentary on the 1969 Vienna Convention”, Leiden:Nijhoff Publishers, 2009, hlm. 532. 21 Berbeda dengan amandemen yang harus melibatkan seluruh pihak dalam suatu perjanjian internasional, untuk melakukan modifikasi hanya terbatas bagi dua atau lebih pihak dari suatu perjanjian internasional multilateral.25 Bisa jadi dari 100 pihak yang terikat, 99 dari mereka yang ingin melakukan modifikasi. Pada pokoknya, tidak bisa bila melibatkan seluruh pihak dalam perjanjian internasional multilateral untuk melakukan modifikasi. • Syarat dilakukan modifikasi Syarat‐syarat dalam melakukan modifikasi diatur dalam Pasal 41 Konvensi Vienna. Syarat‐ syaratnya adalah sebagai berikut:26 1. Modifikasi disediakan oleh perjanjian; Contoh: Pasal 73 (2) Konvensi Vienna tentang Hubungan Konsuler “nothing in the present convention shall preclude States from concluding international agreements confirming or supplementing or extending or amplifying the provisions thereof”. 2. Modifikasi tidak dilarang oleh perjanjian dan: a. Tidak memberikan efek pada hak dan kewajiban dari pihak‐pihak lain; b. Tidak mengganggu maksud dan tujuan dari perjanjian. Kecuali memang disediakan oleh perjanjian, pihak‐pihak yang ingin melakukan modifikasi harus memberitahukan pihak‐pihak yang lain atas intensi pihak‐pihak yang ingin melakukan modifikasi untuk melakukannya. Dapat juga disimpulkan bahwa terdapat perjanjian internasional yang melarang dilakukan modifikasi terhadapya. • Notifikasi Notifikasi diatur dalam Part VII mengenai DEPOSITARIES, NOTIFICATIONS, CORRECTIONS AND REGISTRATIONS. Notifikasi perlu dilakukan oleh pihak‐pihak yang ingin melakukan modifikasi pada sebuah perjanjian internasional, tetapi perjanjian tersebut tidak 25 26 Ibid., hlm. 533. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta:Tatanusa, 2009, hlm. 104. menyediakannya dan perjanjian internasional tersebut juga tidak melarang dilakukan modifikasi terhadap perjanjian internasional tersebut. Notifikasi dibuat ketika negosiasi terkait modifikasi dari perjanjian internasional telah mencapai “mature stage” atau dapat dikatakan matang.27 Notifikasi berisikan intensi untuk melakukan kesepakatan (tekait modifikasi) dan konten dari modifikasi yang diintensikan tersebut.28 Seperti halnya dengan prinsip amandemen, pihak‐pihak lainnya memeriksa apa yang dimodifikasi pihak‐pihak yang melakukan modifikasi, namun tidak diperlukan untuk mengumpulkan teks dari modifikasi dari pihak‐pihak yang ingin melakukan modifikasi.29 Akan tetapi, bukan berarti pihak‐pihak yang lain mempunyai hak untuk bergabung sebagai pihak yang melakukan modifikasi, hal ini tergantung dari persetujuan terkait modifikasi.30 • Agreement Dalam konvensi tidak dijelaskan mengenai bagaimana agreement dalam hubungannya dengan perjanjian.31 Artinya, tidak harus tertulis, bisa jadi dalam bentuk apapun. Pada akhirnya, bila melakukan modifikasi pada perjanjian internasional, akan menghasilkan perjanjian internasional dan modifying agreement.32 Modifikasi dalam Undang‐Undang Nomor 24 Tahun 2000 Mengenai modifikasi dalam UU No.24 Tahun 2000 diatur dalam BAB IV mengenai Pemberlakuan Perjanjian Intenasional. Untuk lebih spesifiknya dapat dilihat dalam Pasal 16 dari undang‐undang tersebut. Yang mana Pasal 16 UU No. 24 Tahun 2000 berbunyi: Pasal 16 (1) Pemerintah Republik Indonesia melakukan perubahan atas ketentuan suatu perjanjian internasional berdasarkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut. 27 Oliver Doerr dan Kirsten Schmalenbach, Op. Cit., hal.726 Loc. Cit. 29 Loc. Cit. 30 Loc. Cit. 31 Ibid., hal. 537. 32 Villiger, Op. Cit., hal. 533. 28 (2) Perubahan perjanjian internasional mengikat para pihak melalui tata cara sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut. (3) Perubahan atas suatu perjanjian internasional yang telah disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia dilakukan dengan peraturan perundang‐ undangan yang setingkat. (4) Dalam hal perubahan perjanjian internasional yang hanya bersifat teknis‐ administratif, pengesahan atas perubahan tersebut dilakukan melalui prosedur sederhana. Dalam Pasal 16 diatas, penulis melihat bahwa Pasal 16 ini tersirat mengenai amandemen dan modifikasi yang diatur dalam Pasal 39, 40, dan 41 Konvensi Vienna. Hubungan Pasal 41 dengan Pasal 30 Konvensi Vienna Hubungan Pasal 41 dengan Pasal 30 Konvensi Vienna terdapat pada paragraf 4 dan paragraf 5 dari Pasal 30 Konvensi Vienna, yang bunyinya adalah sebagai berikut: 4. When the parties to the later treaty do not include all the parties to the earlier one: (a) as between two parties, each of which is a party to both treaties, the same rule applies as in paragraph 3; (b) as between a party to both treaties and a party to only one of the treaties, the treaty to which both are parties governs their mutual rights and obligations. 5. Paragraph 4 is without prejudice to article 41, or to any question of the termination or suspension of the operation of a treaty under article 60 or to any question of responsibility which may arise for a state from the conclusion or application of a treaty the provisions of which are incompatible with its obligations towards another state under another treaty. Pasal 30 paragraf 4 mengatur bagaimana bila tidak semua negara terikat pada perjanjian internasional X kembali menjadi pihak dalam perjanjian internasional X’ yang merupakan amandemen dari perjanjian X. Sedangkan, Pasal 41 mengatur pihak‐pihak tertentu dalam suatu perjanjian internasional yang ingin melakukan modifikasi dari ketentuan‐ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut. Pengaturan dari Pasal 30(4) tidak akan berlaku bila persetujuan untuk merubah sesuai dengan Pasal 41.33 Hubungan Amandemen dengan Modifikasi • Subjek Amandemen harus melibatkan seluruh pihak dalam perjanjian. Modifikasi hanya melibatkan pihak‐pihak tertentu yang terikat dalam perjanjian. • Objek Amandemen dapat dilakukan untuk mengubah seluruh treaty, sedangkan modifikasi hanya untuk sebagian atau ketentuan‐ketentuan tertentu dalam treaty. • Pihak yang ingin bergabung Pihak baru yang ingin mengikatkan diri pada perjanjian internasional yang diamandemen dapat melakukan ratifikasi. Pihak baru tidak bisa begitu saja bergabung dengan pihak‐pihak yang melakukan modifikasi. • Prosedur Amandemen memiliki prosedur yang lebih lengkap dan diatur sedemikian rupa, baik itu oleh Konvensi Wina 1969 maupun perjanjian internasional yang orisinil sebagaimana merumuskan perjanjian internasional yang baru. Modifikasi pengaturannya lebih sedikit dan terbuka. • Intensi Amandemen ingin mengubah suatu perjanjian internasional yang mengikat semua pihak. Sedangkan modifikasi hanya ingin mengubah ketentuan‐ketentuan tertentu terhadap pihak‐pihak tertentu. 33 Villiger, Op. Cit., hal. 537 Daftar Pustaka BUKU Aust, Anthony;2007, Modern Treaty Law and Practice, New York: Cambridge University Press. Brownlee, Ian;2003, Principles of Public International Law, Oxford: Oxford University Press. Brunnee, Jutta; 2012, The Oxford Guide To Treaties, Oxford: Oxford University Press. Doerr, Oliver dan Schmalenbach Kirrsten; 2012, Vienna Convention on the Law of Treaties, A Commentary, Heidelberg: Springer. Kusumaatmadja, Mochtar dan Agoes R. Etty; 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:Alumni. Kusumohamidjojo Budiono; 1986, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bandung: Binacipta. Starke, J. G; 1958, An Introduction to International Law, London: Butterworth & Co. Publishers LTD. Suryokusumo Sumaryo; 2009, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Tatanusa. United Nations; 2012, Treaty Handbook, United Nations Publication. Villiger E. Mark; 2009, Commentary on the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers. JURNAL Juwana, Hikamahanto. “Catatan atas Masalah Aktual Perjanjjian Internasional”, Jurnal Hukum Internasional (No.3, Vol.5 2008). Parthiana, I. Wayan. “Kajian Akademis Teori dan Praktis atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional”, Jurnal Hukum Internasional (No.3, Vol.5 2008).