Kuliner Nusantara Berdialog dengan Zaman
Upaya melestarikan kuliner tradisional Nusantara bisa dilakukan dengan pendekatan penginian sehingga keberadaannya bisa terus relevan dan ”relate” dengan generasi dan masa sekarang. Anda setuju?
Budaya kuliner Nusantara amat kaya. Sayangnya, sebagian mulai hilang dan dilupakan generasi muda. Dua chef dengan caranya masing-masing mencoba menghadirkan kuliner lokal yang mulai terlupakan itu dan mendialogkannya dengan selera kekinian.
Gaya hidup modern generasi baru, yang menekankan pada kepraktisan, serta serbuan kuliner asing, dianggap paling bertanggung jawab mendesak sebagian kuliner Nusantara. Beruntung, sejumlah kalangan yang peduli pada kuliner Nusantara mencoba terus melestarikannya sekuat tenaga.
Salah satunya dengan mengkreasi ulang menu-menu Nusantara dengan pendekatan kekinian. Cara ini diharapkan bisa menghubungkan lagi kuliner Nusantara yang sempat terlupa dengan generasi sekarang. Dengan kata lain, kuliner Nusantara mencoba berdialog dengan zaman.
Upaya ini dilakukan Chef Meliana Christanty—pelestari kuliner Nusantara asal Kalimantan—dan Head Chef Cork & Screw Country Club, Jakarta, Fernando Sindu pada berbagai acara.
Fernando Sindu, misalnya, tampil di acara Merangkai Rasa Lestari seri 2 yang digelar Lingkar Temu Kabupaten Lestari, sehari setelah peringatan HUT Ke-78 Kemerdekaan RI, Agustus 2023.
Sang chef mengolah bahan lokal dari Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, dan menampilkannya dalam balutan yang berbeda. Beberapa menu juga terinspirasi hidangan lokal, tetapi disajikan dengan pendekatan kekinian.
Baca juga : Dari Nusantara Membumbui Dunia
Salah satu menu yang ia tampilkan adalah lawa tuna anca. Menu kreasi Nando itu merupakan hasil adopsi dari sajian khas suku Bugis, lawa ikan. Pada menu tradisional orisinalnya, daging ikan dimatangkan dan dilembutkan menggunakan air perasan jeruk asam. Setelah itu, daging ikan diaduk menyatu dengan parutan kelapa sangrai atau parutan kelapa tua yang sudah dibakar, irisan cabai, dan sejumlah bumbu. Begitu saja, langsung disantap tanpa perlu dimasak dengan panas api.
Dalam versi Nando, lawa menggunakan ikan tuna yang mempunyai tekstur lebih kurang sama dengan daging ikan yang biasa dipakai dalam versi asli. Walakin, ada beberapa teknik pengolahan sedikit berbeda yang dipakai Nando.
Biasanya, dalam menu lawa ikan, daging ikan disajikan mentah. Dalam versi Nando, ikan tuna dimasak setengah mentah (medium rare) terlebih dahulu. Dengan begitu, bagian luarnya matang, sementara bagian dalam atau tengahnya tetap mentah dan berwarna merah.
Baca juga : Rawon dan ”Kebrutalan” yang Nikmat
Daging tuna lantas diiris tipis sebelum disajikan dengan tambahan taburan parutan kelapa sangrai berbumbu dan irisan buah anca. Buah khas Sigi itu punya karakter rasa asam segar ala buah kiwi, tetapi bertekstur mirip daging mangga muda.
Sentuhan kekinian lain dalam penyajian juga diterapkan Nando pada hidangan penutup kreasinya, moringa bugis mandi. Sajian ini pada dasarnya terinspirasi kue tradisional kue mandi berbahan ketan dengan isian unti yang disajikan dengan siraman santan kental.
Nando menempatkan elemen daerah Sigi dalam hidangannya dengan memilih warna hijau untuk kuenya. Bahan pewarnanya dari daun kelor asal Sigi. Seperti versi aslinya, kue itu disajikan dengan siraman santan. Namun, Nando menambahkan taburan kacang almon yang sudah diremukkan.
Dengan caranya, Nando mencoba menunjukkan, kuliner Nusantara bisa dihadirkan dengan cara lain tanpa menghilangkan jejak cita rasa dalam versi aslinya.
Secara terpisah, Chef Meliana yang beberapa tahun bermukim di Kalimantan mencoba menggali kekayaan menu lokal, terutama yang sudah jarang ditemukan. Untuk itu, ia mesti mempelajari dan menelusuri jejak menu-menu itu. Ia temui para tetua masyarakat adat, termasuk sejumlah suku Dayak yang beragam, untuk berkonsultasi.
Dari situ, ia memahami menu-menu tersebut dan mencoba menghadirkannya di banyak acara, salah satunya acara bertajuk Silang Rasa Borneo Bali yang digelar di mal FX Sudirman, Jakarta, pada 5 Juni 2023. Acara itu diikuti sejumlah pegiat serta pemerhati kuliner Nusantara yang sebagian tergabung dalam Komunitas Jalansutra.
Ia memilih lima menu dari lima provinsi di Kalimantan. Kelima menu itu ia pasangkan dengan sejumlah arak Bali.
Dua dari lima menu yang dihidangkan adalah menu yang kini sulit ditemukan lantaran orang-orang yang mampu memasaknya sudah semakin berkurang. Sebagian bahkan sudah meninggal.
Pertama, tumis daun kunyit muda atau bunga kunyit dengan ikan asin telang fermentasi asal Kalimantan Barat. Kedua, lawai mentimun dengan udang bakar, yang dulu dikenal sebagai hidangan kaum bangsawan di Kesultanan Bulungan, Kalimantan Utara.
Meliana ragu apakah generasi muda sekarang ada yang pernah mencicipi atau bahkan mendengar nama kedua menu itu. ”Jadi, lewat acara ini, saya ingin menghadirkan dan menghidupkan kembali menu-menu yang katanya sudah sulit ditemukan, termasuk di Kalimantan sendiri. Dengan begini, kita bisa bersama-sama kembali mencicipi seperti apa rasanya,” kata Meliana di depan para tamu.
Tumis daun kunyit muda atau bunga kunyit dengan ikan asin telang fermentasi bercita rasa eksotik. Cita rasanya gurih, dengan aroma khas daun/bunga kunyit yang kuat. Selain ditumis, menu ini bisa pula dimasak dengan cara dikukus.
Meliana mengatakan mendapatkan resep masakan rumahan peranakan Tionghoa ini dari seorang kerabat yang telah berpulang pada usia 98 tahun. Meliana menyebutnya ama atau nenek dalam tradisi Tionghoa.
Baca juga : Rawon, Kuliner Legenda Jatim yang Mendunia
Menu ini, kalaupun masih ada yang menjual, harganya mungkin mahal. Pasalnya, harga bahannya juga mahal dan mulai langka. Ikan asin telang fermentasi per kilogram sekarang bisa dihargai puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Itu karena proses membuatnya memakan waktu lama. Sementara itu, bunga kunyitnya sulit ditemukan karena hanya muncul sekitar setahun sekali.
Cita rasa lawai mentimun juga unik. Rasa mentimun yang segar berpadu padan cantik dengan rasa gurih dari kelapa parut sangrai, rasa masam perasan jeruk limau, dan beberapa bumbu lain. Tidak hanya itu, sekelebat rasa pedas juga tiba-tiba menyusul muncul di ujung lidah. Udang berbumbu dalam masakan itu juga terasa gurih, manis, dan berempah. Pendek kata, cita rasanya kompleks.
Walau dikategorikan sajian pembuka, menu satu ini sebetulnya layak untuk dijadikan menu utama.
Hati-hati
Mendialogkan menu lokal yang sudah langka dengan selera kekinian bukan perkara mudah.
Meliana mengaku sudah sering melakukan itu. Namun, ia selalu melakukannya secara hati-hati dan teliti demi menjaga keotentikan atau keaslian menu tersebut, baik dari sisi bahan baku maupun bumbu yang dipakai. Dengan begitu, menu lokal versi penginian akan tetap menyimpan jejak cita rasa versi aslinya saat dihidangkan.
Secara prinsip, kuliner Nusantara, baik yang disajikan secara otentik maupun yang sudah mendapat sentuhan penginian, lanjut Meliana, tidak memiliki perbedaan sama sekali. Tidak ada yang bisa dianggap lebih baik atau ”berderajat” lebih tinggi ketimbang yang lain.
Langkah penginian tak lebih dari cara mengemas satu produk kuliner sehingga bisa masuk ke segmen konsumen yang berbeda.
Meliana mengibaratkan seperti dirinya sendiri. Saat tak ada aktivitas keluar rumah, dirinya jarang berdandan. Akan tetapi, saat harus keluar, termasuk untuk memenuhi undangan pertemuan atau pesta resmi, dia merasa perlu mendandani diri sebaik mungkin. Dengan begitu, keberadaan dan kehadirannya bisa menyesuaikan dengan kondisi dalam pesta tadi.
”Tapi, walau didandani, orangnya sendiri, kan, masih tetap saya juga. Ha-ha-ha. Yang namanya upscaling bukan berarti dilakukan karena yang asli atau tradisional dianggap berderajat lebih rendah sehingga harus dimodernkan. Bukan seperti itu cara berpikirnya,” tutur nya.
Langkah penginian tak lebih dari cara mengemas satu produk kuliner sehingga bisa masuk ke segmen konsumen yang berbeda. Ia ingat, saat dirinya diajak chef senior, William Wongso, mempresentasikan keahlian dan pengetahuannya soal kuliner Borneo di Belgia, ia sangat terkejut. Pasalnya, para tamu, yang kebanyakan orang asing dan belum pernah mencicipi kuliner Kalimantan, puas dan bahkan penasaran.
Mereka kagum dengan beragamnya cita rasa yang dihadirkan menu-menu makanan Kalimantan yang disajikan. Tak hanya itu, mereka juga tertarik dan meminta Meliana menggelar semacam wisata kuliner ke Kalimantan.
”Mereka ingin melihat dan merasakan langsung bentuk kuliner tradisional versi aslinya. Dari situ, saya melihat upaya yang selama ini saya lakukan bisa menjadi semacam batu pijakan untuk memperkenalkan dan memopulerkan kuliner Kalimantan di mata dunia,” ujar Meliana pada akhir perbincangan. Selamat mendialogkan kuliner Nusantara di era kekinian.